Sabtu, 09 September 2017

PENDIDIKAN KARAKTER, SASTRA DAN KITA!



Dunia pendidikan dewasa ini harus menjadi perisai di garis depan dalam membendung arus hedonisme dan maraknya kejahatan kemanusiaan, termasuk dekadensi moral yang merajalela.
Pendidikan karakter kebangsaan kembali menjadi pembicaraan hangat di kalangan pendidik belakangan ini. Tidak hanya dunia pendidikan negeri ini saja yang mengalami ketidakpercayaan diri ketika sistem pendidikan kontemporer gagal menerangi generasi penerus bangsa dengan nilai-nilai relegius dan moralitas. Bahkan para pemimpin negeri ini mengalami krisis kepercayaan diri. Sehingga dikhawatirkan hal tersebut akan berdampak buruk ketika sudah menggerogoti tiap aspek kehidupan bangsa.
Merebaknya budaya kekerasan dan proses demoralisasi saat ini secara tidak langsung telah mengajarkan generasi muda penerus bangsa ini cenderung agresif dengan tingkat degradasi moral yang sudah berada pada titik nadir peradaban. Seirama dengan hal itulah akhirnya sekolah menjadi Kawah Candradimuka untuk membentuk karakter generasi bangsa jadi lebih baik.
Hanya saja hal tersebut tidak dibarengi dengan sistem pembelajaran yang senada dengan tujuan konsep pendidikan. Dunia pendidikan hanya menuntut hasil akhir ketercapaiannya. Maka tidak salah apabila hal tersebut cenderung bersifat indoktrinasi saja. Jauh dari tujuan pendidikan yang sebenarnya dalam ranah pendidikan yang hakiki. Disadari atau tidak hal ini telah membuat anak harus berpacu dengan waktu untuk menguasai semua materi pelajaran. Sehingga waktu telah membunuh jiwa mereka untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran yang adi luhung.
Tak pelak lagi jika generasi muda kita tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan kasih sayang dan kurangnya interaksi sosial dengan kawan-kawannya. Mereka telah kehilangan jati diri yang harusnya melekat pada jiwa mereka. Akhirnya, generasi penerus bangsa itu akan kehilangan segalanya. Seperti ketakutan para pendiri bangsa ini, terutama Soekarno, akan hilangnya jati diri bangsa Indonesia yang akan menyebabkan bangsa besar ini hanya akan menjadi bangsa penonton dan bangsa kuli bisa menjadi kenyataan kalau tidak segera ditemukan solusinya.
Jika kita simak wacana di atas, dapat diungkapkan betapa pentingnya penanaman karakter kebangsaaan itu, untuk sesegera mungkin diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Meski sejak republik ini berdiri penanaman karakter kebangsaan telah difondasikan. Namun derasnya arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi informasi sudah tidak mampu lagi untuk kita saring. Sehingga sulit membedakan mana yang seharusnya menjadi tuntunan dan mana yang hanya sekedar menjadi tontonan semata, pun batasan-batasan antara keduanya telah tersamarkan.
 Dalam hal ini dibutuhkan solusi yang tidak sekedar wacana semata. Salah satunya adalah melalui pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra yang selama ini dipandang sebelah mata atau bahkan nyaris dilupakan justru akan menjadi titik terang yang akan memberikan pencerahan pada dunia pendidikan. Khususnya penanaman karakter kebangsaan pada peserta didik saat ini.
Bukan berarti pernyataan tersebut terlalu mengagung-agungkan pentingnya sastra dalam kehidupan. Tetapi jika masa kanak-kanak generasi penerus bangsa itu kurang mendapatkan pendidikan apresiasi sastra, rasanya sangat sulit mengharapkan mereka tumbuh-berkembang menjadi insan yang memiliki kekayaan dan kepekaan spiritualitas yang dapat membuat mereka hidup terhormat. Sebab, dalam karya sastra terkandung nilai-nilai spiritualitas yang adi luhung sebagai landasan dan dapat mempengaruhi perilaku kehidupan bangsa, setelah ajaran agama tentunya.
Sastra hadir sebagai kendaraan alternatif ketika metode-metode penanaman karakter kebangsaan mengalami kemandegan atau kebuntuan. Sastra diharapkan menjadi lentera penerang ketika pembelajaran karakter kebangsaan harus melewati “lorong gelap dan berliku”. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Apakah ada celah alternatif melalui pembelajaran sastra untuk mengobati kekurang pekaan itu? Ironisnya  tingkat literacy atau kegiatan membaca dan menulis di kalangan pendidik sangat rendah.
Beberapa kalangan masyarakat bahkan di kalangan pendidik sendiri menilai, pengajaran apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, kurang menarik, bahkan cenderung membosankan. Peserta didik tidak diajak untuk menjelajahi, mempelajari dan memahami tingginya keagungan nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra, tetapi sekedar disuapi dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang bercorak teoritis dan hafalan, unsur intrinsik atau unsur ekstrinsik misalnya. Padahal ada yang lebih menarik dari semua itu, yaitu nilai-nilai yang terkandung dalam karya-karya tersebut.
Selama ini mereka tidak diajak untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya, tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. “Siapa saja tokoh-tokoh yang ada pada novel Laskar Pelangi, anak-anak?” Atau, “Siapa pengarang puisi berjudul Diponegoro?” Begitulah kiranya pembelajaran sastra di sekolah saat ini, sekadar berkenalan dengan sastra.
Dengan kata lain, apa yang disampaikan para pendidik dalam pengajaran sastra barulah kulit arinya saja, baru dasar-dasarnya saja. Sehingga peserta didik gagal merasakan dan menikmati isi dan kandungan nilai-nilai dalam karya sastra tersebut. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan, tetapi juga telah membekukan proses pencerdasan emosional dan spiritual peserta didik. Sehingga jangan saling menyalahkan apabila bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang miskin spiritualitas hingga mudah melakukan hal-hal yang dinistakan tanpa rasa bersalah atau rasa malu.
Demikianlah, apabila kita ingin memulai membangun karakter peserta didik, mulailah dengan rasa malu. Malu melakukan kecurangan atau tindakan kecil lainnya yang tidak terpuji ketika berlangsung kegiatan pembelajaran sastra. Jangan ajarkan peserta didik tentang mencontek atau plagiarisme karya ketika memberikan penugasan penciptaan karya sastra, penciptaan puisi misalnya. Biarkan mereka berkarya secara orisinalitas, sesuai tingkat imajinasi mereka. Tidak ada karya baik atau jelek di dunia kesusastraan. Semua mempunyai penikmatnya sendiri, mempunyai nilai-nilai moral tersendiri, tanpa juga harus memberikan cap jelek pada karya peserta didik yang memang belum sempurna.
Biarkan generasi penerus bangsa itu menentukan pilihannya. Tak perlu kita mendikte apalagi memberikan contekan saat ujian, cukuplah mereka belajar dari kehidupan alam raya ini. Menemukan jati dirinya, kepercayaan dirinya serta menemukan kecerdasan sosial serta spiritual mereka melalui karya-karya yang mereka kaji dan mereka cipta tentunya.
Pihak otoritas sekolah dalam hal ini pendidik sebagai pihak pertama yang bersentuhan dengan peserta didik tentu akan lebih tahu dan lebih memahami karakter masing-masing anak didiknya. Pendidik tentu tidak menemukan kesulitan atau kendala dalam memilihkan karya-karya sastra yang banyak memuat nilai-nilai moral dan spiritualitas untuk dijadikan kajian dalam pembelajaran di sekolahnya. Jer basuki mawa bea, semua memang membutuhkan pengorbanan demi mendapatkan hasil yang baik. Sehingga  pembelajaran sastra di sekolah tidak sekedar menyajikan fakta-fakta mati.
Belum terlambat kiranya untuk memperbaiki semua, kita jangan pesimis dan rendah diri. Saatnya kita meneruskan pembangunan karakter dan citra bangsa pada generasi muda kita dari berbagai aspek. Jangan hanya selalu berbicara dan bersikap skeptis, meremehkan bangsa sendiri, kita harus bergerak, bangkit dan berubah, agar di kemudian hari tidak ada lagi rakyat Indonesia yang miskin karakter, juga miskin jiwanya ketika harus mengawal perjalanan bangsa ini.
Akhirnya, saya ajak pembaca untuk bersama mengapresiasi sebuah puisi berjudul “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail. Mudah-mudahan setelah membaca puisi tersebut dengan tingkat pemahaman dan imajinasi kita masing-masing, kita bisa mendapat semacam pencerahan, paling tidak bisa terhibur dan tidak terbelenggu pada pengetahuan yang beku. Salam Budaya! (Heri Santoso, SS)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar