Dunia
pendidikan dewasa ini harus menjadi perisai di garis
depan dalam membendung arus hedonisme dan maraknya kejahatan kemanusiaan,
termasuk dekadensi moral yang merajalela.
Pendidikan
karakter kebangsaan kembali menjadi pembicaraan hangat di kalangan pendidik
belakangan ini. Tidak hanya dunia pendidikan negeri ini saja yang mengalami ketidakpercayaan
diri ketika sistem pendidikan kontemporer gagal menerangi generasi penerus
bangsa dengan nilai-nilai relegius dan moralitas. Bahkan para pemimpin negeri
ini mengalami krisis kepercayaan diri. Sehingga dikhawatirkan hal tersebut akan
berdampak buruk ketika sudah menggerogoti tiap aspek kehidupan bangsa.
Merebaknya
budaya kekerasan dan proses demoralisasi saat ini secara tidak langsung telah
mengajarkan generasi muda penerus bangsa ini cenderung agresif dengan tingkat
degradasi moral yang sudah berada pada titik nadir peradaban. Seirama dengan
hal itulah akhirnya sekolah menjadi Kawah
Candradimuka untuk membentuk karakter generasi bangsa jadi lebih baik.
Hanya saja hal
tersebut tidak dibarengi dengan
sistem pembelajaran yang senada dengan tujuan konsep pendidikan. Dunia
pendidikan hanya menuntut hasil akhir ketercapaiannya. Maka tidak salah apabila
hal tersebut cenderung bersifat indoktrinasi saja. Jauh dari tujuan pendidikan
yang sebenarnya dalam ranah pendidikan yang hakiki. Disadari atau tidak hal ini
telah membuat anak harus berpacu dengan waktu untuk menguasai semua materi
pelajaran. Sehingga waktu telah membunuh jiwa mereka untuk berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai keluhuran yang adi luhung.
Tak pelak lagi
jika generasi muda kita tidak lagi memiliki kepekaan terhadap sesamanya, kehilangan
kasih sayang dan kurangnya interaksi sosial dengan kawan-kawannya. Mereka telah kehilangan jati diri yang
harusnya melekat pada jiwa mereka. Akhirnya, generasi penerus bangsa itu akan
kehilangan segalanya. Seperti ketakutan para pendiri bangsa ini, terutama
Soekarno, akan hilangnya jati diri bangsa Indonesia yang akan menyebabkan
bangsa besar ini hanya akan menjadi bangsa penonton dan bangsa kuli bisa
menjadi kenyataan kalau tidak segera ditemukan solusinya.
Jika kita simak wacana di atas,
dapat diungkapkan betapa pentingnya penanaman karakter kebangsaaan itu, untuk sesegera
mungkin diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di sekolah. Meski sejak
republik ini berdiri penanaman karakter kebangsaan telah difondasikan. Namun
derasnya arus globalisasi dan pesatnya perkembangan teknologi informasi sudah tidak
mampu lagi untuk kita saring. Sehingga sulit membedakan mana yang seharusnya
menjadi tuntunan dan mana yang hanya sekedar menjadi tontonan semata, pun batasan-batasan
antara keduanya telah tersamarkan.
Dalam hal ini dibutuhkan solusi yang tidak
sekedar wacana semata. Salah satunya adalah melalui pembelajaran sastra. Pembelajaran
sastra yang selama ini dipandang sebelah mata atau bahkan nyaris dilupakan
justru akan menjadi titik terang yang akan memberikan pencerahan pada dunia
pendidikan. Khususnya penanaman karakter kebangsaan pada peserta didik saat
ini.
Bukan berarti pernyataan tersebut terlalu mengagung-agungkan pentingnya
sastra dalam kehidupan. Tetapi jika masa kanak-kanak generasi penerus bangsa
itu kurang mendapatkan pendidikan apresiasi sastra, rasanya sangat sulit
mengharapkan mereka tumbuh-berkembang menjadi insan yang memiliki kekayaan dan
kepekaan spiritualitas yang dapat membuat mereka hidup terhormat. Sebab, dalam
karya sastra terkandung nilai-nilai spiritualitas yang adi luhung sebagai landasan dan dapat mempengaruhi perilaku kehidupan
bangsa, setelah ajaran agama tentunya.
Sastra hadir sebagai kendaraan
alternatif ketika metode-metode penanaman karakter kebangsaan mengalami kemandegan atau kebuntuan. Sastra
diharapkan menjadi lentera penerang ketika pembelajaran karakter kebangsaan harus
melewati “lorong gelap dan berliku”. Hal itu bukan saja ada hubungan dengan konsep atau pengertian sastra,
tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran sastra. Dewasa ini
sama-sama dirasakan, kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar
semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang.
Apakah ada celah alternatif melalui pembelajaran sastra untuk mengobati
kekurang pekaan itu? Ironisnya tingkat literacy atau kegiatan membaca dan
menulis di kalangan pendidik sangat rendah.
Beberapa
kalangan masyarakat bahkan di kalangan pendidik sendiri menilai, pengajaran
apresiasi sastra selama ini berlangsung monoton, kurang menarik, bahkan
cenderung membosankan. Peserta didik tidak diajak untuk menjelajahi, mempelajari
dan memahami tingginya keagungan nilai-nilai yang terkandung dalam teks sastra,
tetapi sekedar disuapi dengan pengetahuan-pengetahuan tentang sastra yang
bercorak teoritis dan hafalan, unsur intrinsik atau unsur ekstrinsik misalnya.
Padahal ada yang lebih menarik dari semua itu, yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam karya-karya tersebut.
Selama
ini mereka tidak diajak untuk mengapresiasi teks-teks sastra yang sesungguhnya,
tetapi sekadar menghafalkan nama-nama sastrawan berikut hasil karyanya. “Siapa
saja tokoh-tokoh yang ada pada novel Laskar Pelangi, anak-anak?” Atau, “Siapa
pengarang puisi berjudul Diponegoro?” Begitulah kiranya pembelajaran sastra di
sekolah saat ini, sekadar berkenalan dengan sastra.
Dengan
kata lain, apa yang disampaikan para pendidik dalam pengajaran sastra barulah
kulit arinya saja, baru dasar-dasarnya saja. Sehingga peserta didik gagal
merasakan dan menikmati isi dan kandungan nilai-nilai dalam karya sastra
tersebut. Kondisi pengajaran sastra yang semacam itu tidak saja memprihatinkan,
tetapi juga telah membekukan proses pencerdasan emosional dan spiritual peserta
didik. Sehingga jangan saling menyalahkan apabila bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang miskin
spiritualitas hingga mudah melakukan hal-hal yang dinistakan tanpa rasa
bersalah atau rasa malu.
Demikianlah, apabila kita ingin memulai membangun
karakter peserta didik, mulailah dengan rasa malu. Malu melakukan kecurangan
atau tindakan kecil lainnya yang tidak terpuji ketika berlangsung kegiatan
pembelajaran sastra. Jangan ajarkan peserta didik tentang mencontek atau
plagiarisme karya ketika memberikan penugasan penciptaan karya sastra,
penciptaan puisi misalnya. Biarkan mereka berkarya secara orisinalitas, sesuai
tingkat imajinasi mereka. Tidak ada karya baik atau jelek di dunia
kesusastraan. Semua mempunyai penikmatnya sendiri, mempunyai nilai-nilai moral
tersendiri, tanpa juga harus memberikan cap jelek pada karya peserta didik yang
memang belum sempurna.
Biarkan generasi penerus bangsa itu menentukan
pilihannya. Tak perlu kita mendikte apalagi memberikan contekan saat ujian, cukuplah
mereka belajar dari kehidupan alam raya ini. Menemukan jati dirinya,
kepercayaan dirinya serta menemukan kecerdasan sosial serta spiritual mereka
melalui karya-karya yang mereka kaji dan mereka cipta tentunya.
Pihak otoritas sekolah dalam hal ini
pendidik sebagai pihak pertama yang bersentuhan dengan peserta didik tentu akan
lebih tahu dan lebih memahami karakter masing-masing anak didiknya. Pendidik tentu
tidak menemukan kesulitan atau kendala dalam memilihkan karya-karya sastra yang
banyak memuat nilai-nilai moral dan spiritualitas untuk dijadikan kajian dalam
pembelajaran di sekolahnya. Jer basuki
mawa bea, semua memang membutuhkan pengorbanan demi mendapatkan hasil yang
baik. Sehingga pembelajaran sastra di
sekolah tidak sekedar menyajikan fakta-fakta mati.
Belum terlambat kiranya untuk memperbaiki semua, kita jangan pesimis dan rendah
diri. Saatnya kita meneruskan pembangunan karakter dan citra bangsa pada
generasi muda kita dari berbagai aspek. Jangan hanya selalu berbicara dan bersikap
skeptis, meremehkan bangsa sendiri,
kita harus bergerak, bangkit dan berubah, agar di kemudian hari tidak ada lagi
rakyat Indonesia yang miskin karakter, juga miskin jiwanya ketika harus
mengawal perjalanan bangsa ini.
Akhirnya, saya ajak pembaca untuk bersama mengapresiasi
sebuah puisi berjudul “Kerendahan Hati” karya Taufik Ismail. Mudah-mudahan
setelah membaca puisi tersebut dengan tingkat pemahaman dan imajinasi kita
masing-masing, kita bisa mendapat semacam pencerahan, paling tidak bisa
terhibur dan tidak terbelenggu pada pengetahuan yang beku. Salam Budaya! (Heri Santoso, SS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar